Jika anak Anda menunjukkan satu atau lebih dari perilaku berikut, Anda mungkin bertanya-tanya apakah mereka memiliki Sensory Processing Disorder (SPD):
- Penolakan terhadap Tekstur Tertentu: Ketidaknyamanan dengan bahan kain, label pakaian, atau benda yang kotor seperti pasir atau cat.
- Reaksi Berlebihan terhadap Suara Keras: Takut atau merasa tertekan oleh suara seperti penyedot debu, sirene, atau pengering tangan.
- Mencari Sensasi Sensorik yang Intens: Sering melakukan aktivitas seperti berputar, melompat, atau menabrak benda untuk mendapatkan rangsangan.
- Selektivitas Makanan: Memiliki preferensi kuat atau penolakan terhadap makanan berdasarkan tekstur, aroma, atau tampilan.
SPD adalah istilah yang sering digunakan oleh terapis okupasi untuk menggambarkan anak-anak yang menghadapi tantangan terkait sensorik.
Masalah dengan SPD
Meskipun banyak digunakan, Sensory Processing Disorder tidak diakui sebagai diagnosis formal dalam DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) atau ICD-11 (International Classification of Diseases). Kedua manual ini adalah standar emas dalam mendiagnosis gangguan perkembangan dan kesehatan mental.
Mengapa SPD tidak dimasukkan?
SPD sering dikritik karena kurang spesifik. Gejala yang terkait dengan SPD tidak hanya ditemukan dalam kondisi ini saja. Gejala serupa juga sering ditemukan pada diagnosis lain, seperti autisme, ADHD, dan gangguan kecemasan, bahkan pada anak-anak yang berkembang secara normal.
Sebagai contoh:
- Hipersensitivitas terhadap tekstur sering terjadi pada banyak anak kecil dan merupakan karakteristik umum pada anak-anak yang didiagnosis dengan autisme.
- Mencari sensasi seperti berputar atau melompat dapat terjadi pada anak-anak dengan keterampilan sosial atau bahasa yang rendah.
- Selektivitas makanan/ picky eating/ pilih-pilih makan, mungkin disebabkan oleh kecemasan, faktor lingkungan, atau kurangnya paparan terhadap makanan tertentu, bukan oleh gangguan pemrosesan sensorik neurologis.
Mengategorikan kesulitan anak sebagai SPD dapat berisiko mengabaikan faktor-faktor penyebab yang lebih luas. Sebagai contoh, melabeli selektivitas makanan sebagai SPD mungkin menyembunyikan penyebab lain, seperti:
- Kecemasan saat makan, yang berasal dari pemicu sosial atau sensorik.
- Pola interaksi antara orang tua dan anak selama waktu makan.
- Kebiasaan yang dipelajari seperti menghindari makanan akibat pengalaman tidak nyaman di masa lalu.
Mendiagnosis SPD dengan asumsi bahwa masalahnya disebabkan oleh “disfungsi pemrosesan sensorik” dapat mempersempit fokus dan menghambat pemahaman yang menyeluruh tentang kebutuhan anak.
Apakah Terapi Sensori Integrasi (SI) Efektif?
Meski SPD bukan diagnosis resmi, banyak anak yang mendapatkan manfaat dari terapi sensori integrasi. Pendekatan ini, yang dikembangkan oleh terapis okupasi, bertujuan untuk mengatasi tantangan sensori yang sering diasosiasikan dengan SPD.
Terapi sensory integrasi sering kali didasarkan pada teknik pengobatan yang efektif, seperti paparan bertahap, desensitisasi, dan habituasi. Terapis okupasi (OT) umumnya memiliki keahlian dalam menerapkan teknik-teknik ini dan metode lainnya.
Apakah Anak Saya Membutuhkan Terapi Sensori Integrasi (SI)?
Jika anak Anda mengalami tantangan sensori, terapi sensori integrasi (SI) dapat menjadi alat yang bermanfaat untuk meningkatkan fungsi sehari-hari mereka. Namun, penting untuk tidak melihat kesulitan ini hanya dari sudut pandang pemrosesan sensori.
Evaluasi yang komprehensif adalah kuncinya. Jika anak Anda juga menunjukkan kekhawatiran tambahan, seperti keterlambatan bahasa atau keterbatasan bermain dan keterampilan sosial, terapi lain—seperti intervensi bicara dan perilaku—harus menjadi prioritas secepat mungkin.